BAB I
PENDAHULUAN
A.
Tema dan Kata Kunci Tema
Tema laporan ini adalah konsep ta’awun (tolong menolong) dalam Al-Quran. Kata kunci laporan
ini adalah ta’awun (tolong menolong).
B.
Latar Belakang
Al-Quran yang secara harfiah bearti “bacaan yang
sempurna”.[1]
Merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan
pun sejak manusia mengenal tulis baca
lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan yang
sempurna lagi mulia.
Al-Qur’an adalah firman Allah yang merupakan mu’zijat
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang tertulis dalam
mushaf yang bacaannya terhitung sebagai ibadah, yang
diriwayatkan secara mutawatir yang dimulai dengan Surah Al-Fatihah, dan
diakhiri dengan Surah An-Naas.[2]
Secara etimologis
Al-Quran berarti “bacaan” atau yang dibaca, berasal dari kata qara’a yang bearti membaca. Secara
Terminologi Quran bearti kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan bahasa Arab melalui malaikat jibril, sebagai mu’jizat dan argumentasi
dalam mendakwahkan kerasulannya sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan
didunia dan akhirat. Defenisi lain “ Al-Quran adalah kalam Allah SWT., yang
meruapakan mu’jizat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis di
mushaf dan diriwayatkan dengan mutawaf dan
membacanya ibadat”. [3]
Pendapat ulama menyebutkan defenisi Quran yang mendekati
maknanya dan membedakannya dari yang lain menyebutkan bahwa “Quran adalah kalam
atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW., yang pembacaannya
merupakan suatu ibadah.”[4]
Menurut Ramli Abdul Wahid dalam (Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah) berpendapat
bahwa “ Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad untuk menjadi pedoman bagi hidup manusia”.[5]
Menurut Abd Al-Hayy Al-Farmawi mengatakan bahwa:
Al-Quran itu firman yang memisahkan antara kebenaran dan
kebatilan, bukan kata-kata senda gurau. Barang siapa yang meninggalkan al-Quran
akan binasa, dan barang siapa yang mencari petunjuk selain darinya akan sesat,
al-quran adalah tali (agama) Allah yang kokoh, kuat, penuh hikmah dan jalan
yang lurus.[6]
Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam yang berisikan wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW., dalam bahasa Arab yang tertulis dalam mushaf
yang bacaannya terhitung sebagai ibadah, yang diriwayatkan secara
mutawatir yang dimulai dengan Surah Al-Fatihah, dan diakhiri dengan Surah
An-Naas serta menjadi pedoman bagi hidup manusia.
Menurut Muhammad
Quraish Shihab Al-Quran bertujuan antara lain:
1.
Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa
dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang
sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata
sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat
manusia.
2.
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan
beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat
bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
3.
Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan,
bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan
kehidupan duia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman dan
rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan
determinisme, kesatuan sosial, politik, dan ekonomi dan semuanya berada dalam
dibawah satu keesaan yaitu Keesaan Allah SWT.
4.
Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja
sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan
mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
5.
Untuk membasmi kemiskinan material dan
spiritual, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia
atas manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan juga agama.
6.
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan
rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan
pokok kehidupan masyarakat manusia.
7.
Untuk memberi jalan tenggah antara falsafah
monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif dengan menjadikan keadilan sosial
sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia.
8.
Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi,
guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan
panduan dan paduan Nur Ilahi.[7]
Dari Uraian diatas dapat dipahami bahwa Al-Quran
mempunyai tujuan yang terpadu yang menyeluruh. Al-Quran adalah petunjuk Allah
yang bila dipelajari akan membantu kita
menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan berbagai
macam problem hidup.
Menurut Gufron A Mas’adi mengatakan bahwa:
Manusia diciptakan Allah SWT., sebagai makhluk sosial
yang mana manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi
dengan manusia lain. Dalam kehidupan sehari-hari manusia pasti saling
membutuhkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu diwajibkan bagi mereka untuk
saling tolong menolong antar sesama umat manusia, tidak jarang dalam memenuhi
kehidupan pribadi, seseorang adakalanya tidak
mampu untuk memenuhinya sendiri, sehingga memerlukan orang lain.[8]
Sedangkan
Menurut Sohari ddk mengatakan bahwa:
Pertolongan yang diberikan seorang mukmin kepada
saudaranya, pada hakikatnya menolong dirinya sendiri. Hal ini karena Allah
SWT., pun akan menolongnya, baik di dunia maupun di akhirat selama hamba-Nya,
diri sendiri dari berbagai kesusahan dunia dan akhirat. Mereka yang suka
menolong orang lain dijanjikan akan mendapatkan penggantinya sesuai
perbuatannya, baik di dunia maupun di akhirat.[9]
Tolong menolong telah menjadi sebuah keharusan, karena
apapun yang kita kerjakan tentu membutuhkan pertolongan dari orang lain. Maka
antara mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang
saling memperkuat antara sebagian dengan yang lainnya. Begitu juga dengan
ta’awun, tolong menolong adalah “Suatu sistem yang benar-benar memperindah
Islam.”[10]
Manusia satu dengan yang lainnya pastilah saling membutuhkan. tidak ada seorang
manusia pun di muka bumi ini yang tidak membutuhkan pertolongan dari yang lain.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa manusia
sebagai makhluk sosial, sangat membutuhkan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Bahkan orangkaya sekalipun juga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagai seorang hamba diwajibkan bagi kita untuk saling tolong
menolong antar sesama umat manusia karena seseorang adakalanya tidak mampu untuk memenuhinya sendiri, sehingga
memerlukan orang lain. Jika seseorang menbantu meringankan atau melonggarkan
kesusahan saudaranya berarti dia telah menolong dirinya sendiri dan orang yang
gemar menolong orang lain, Allah SWT., juga akan menolongnya dari kesusahan di
dunia dan di akhirat.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini yaitu untuk
memenuhi persyaratan salah satu mata kuliah tafsir ayat tarbawi konseling.
D.
Kegunaan Penulisan
1.
Kegunaan Teoritis
Penulisan laporan ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan bagi penulis dan pembaca dalam memahami konsep ta’awun
dalam Al-Quran.
2.
Kegunaan Praktis
Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan keterampilan dan
pengetahuan bagi penulis dalam memahami
konsep Ta’awun dalam Al-Quran.
E.
Definisi Tema
Ta’awun berasal dari bahasa Arab yaitu “Ta’awana, Yata’aawuna, Ta’awuna, yang
artinya tolong-menolong, gotong-royong, bantu-membantu dengan sesama manusia.”[11]
Sedangkan menurut istilah,
pengertian ta’awun adalah “Sifat tolong menolong diantara sesama manusia
dalam hal kebaikan dan takwa. Dalam ajaran Islam, tolong menolong merupakan
kewajiban setiap muslim.”[12]
Sudah semestinya konsep tolong menolong ini dikemas sesuai dengan syariat Islam,
dalam artian tolong menolong hanya diperbolehkan dalam kebaikan dan takwa, dan
tidak diperbolehkan tolong menolong dalam hal dosa atau permusuhan.
Menurut Mushthafa
Al Ghalayaini mengatakan bahwa:
Tolong menolong adalah termasuk persoalan-persoalan yang penting dilaksanakan oleh seluruh umat manusia secara
bergantian, sebab tidak mungkin seseorang itu hidup sendiri-sendiri tanpa
menggunakan cara pertukaran kepentingan dan kemanfaatan. Antara sesorang dengan
yang lain tentu saling hajat-menghajatkan, butuh-membutuhkan dan dari situlah
timbul kesadaran untuk saling bantu-membantu dan tolong-menolong.[13]
Saling tolong menolong juga menyangkut
berbagai macam hal, asalkan berupa kebaikan, walaupun yang meminta tolong musuh
kita. Sebab, dengan saling tolong menolong akan memudahkan pekerjaan,
mempercepat terealisasinya kebaikan, menampakan persatuan dan kesatuan. “Tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan adalah salah satu kewajiban umat muslim
artinya, seandainya kita harus menolong orang lain, maka harus dipastikan bahwa
pertolongan itu menyangkut dengan ketakwaan.”[14]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa
tolong menolong (ta’awun) adalah
sikap saling bantu-menbantu, tolong-menolong antara seseorang dengan orang lain
karena antara seseorang dengan yang lain saling hajat-menghajatkan,
butuh-membutuhkan dan dari situlah timbul kesadaran untuk saling bantu-membantu
dan tolong-menolong yang menyangkut berbagai macam hal, asalkan berupa kebaikan
walaupun yang meminta tolong musuh kita. Adanya tolong-menolong akan memudahkan
pekerjaan dan terealisasinya kebaikan
serta terciptanya kesatuan dan persatuan antara sesama umat muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Daftar Ayat yang Berkaitan dengan Ta’awun ( Tolong-Menolong)
1.
Tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa
Firman Allah QS.
Al-Maidah Ayat 2
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (
¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.”
2.
Memberikan sebagian harta yang dicintai
QS. Ali-Imran ayat
92
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$#
¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang
sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah akan mengetahui.”
3.
Menafkah harta
QS. Saba’ ayat 39
ö@è% ¨bÎ) În1u äÝÝ¡ö6t s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏ$t7Ïã âÏø)tur ¼çms9 4 !$tBur OçFø)xÿRr&
`ÏiB &äóÓx« uqßgsù ¼çmàÿÎ=øä ( uqèdur çöyz úüÏ%κ§9$# ÇÌÒÈ
“Katakanlah, “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi
(siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka
Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
B.
Ayat Pertama QS. Al-Maidah ayat 2 Tentang
Tolong Menolong Dalam Kebaikan dan Takwa
1.
Pendapat Mufasir Tentang QS. Al-Maidah Ayat 2
a. Menurut
M. Quraish Shihab
Menurut M. Quraish Shihab Tafsiran QS.
Al-maidah ayat 2 yaitu:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan macam hala yang
membawa kepada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi dan demikian juga tolong menolong
dalam ketakwaan, yakni segala upaya
yang dapat menghindarkan bencana duniawi
dan atau ukhrawi, walaupun dengan orang-orang yang tidak seiman dengan kamu,
dan janganlah tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwa Allah,sesungguhnya Allah amatlah
berat siksanya” [15]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
jika dianjurkan untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan tolong
menolong dalam ketaqwaan serta laranganan untuk tidak tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.
b. Menurut Abdul Halim Hasan
Menurut Abdul Halim Hasan Tafsiran QS.
Al-maidah ayat 2 yaitu: “Dan
bertolong-tolonganlah kamu pada kebaikan dan takwa dan janganlah kamu
bertolong-tolongan pada dosa dan permusuhan, adalah kebalikan dari berbuat
aniaya. Setelah dilarang menganiaya, diperintahkan untuk melakukan birr( kebaikan)”.
Menurut ibnu athiyah, birr itu berarti “segala kebaikan”, yang adakalanya
berhubungan dengan perbuatan wajib maupun perbuatan sunnah, sedangkan arti takwa hanya pekerjaan kebaikan
yang wajib saja. Sedangkan menurut mawardi
birr itu berarti “ keridhaan orang
banyak ”, sedangkan takwa berarti “keridhaan
allah.”[16]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
tolong menolonglah kamu dalam menyenangkan hati orang banyak dan meridhakan
Allah. Jika manusia tolong-menolong dalam hal tersebut maka sempurnalah
kebahagiaannya.
c. Menurut Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Menurut lajnah pentashihan mushaf al-Qur’an
tafsiran QS. Almaidah ayat 2 yaitu ayat ini bisa dipahami bahwa:
Tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan adalah salah
satu kewajiban umat muslim”. artinya, seandainya kita harus menolong orang
lain, maka harus dipastikan bahwa pertolongan itu menyangkut dengan ketakwaan.
Saling tolong menolong juga menyangkut berbagai macam hal, asalkan berupa
kebaikan, walaupun yang meminta tolong musuh kita. Sebab, dengan saling tolong
menolong akan memudahkan pekerjaan, mempercepat terealisasinya kebaikan,
menampakan persatuan dan kesatuan.[17]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
tolong menolong dalam kebaikan dan takwa merupakan kewajiban umat muslim.
Tolong menolong menyangkut berbagai macam hal, asalkan berupa kebaikan,
walaupun yang meminta pertolongan musuh kita.
d. Menurut Ahmad Musthafa Al-maraghi
Menurut Ahmad Musthafa Al-maraghi tafsiran
QS. Al-Maidah ayat 2 yaitu:
Al-birr, berarti melakukan kebaikan seluas-luasnya.
at-taqwa, menghindari bahaya yang mengancam seseorang mengenai agama maupun
didunianya. al-itsmi, tiap-tiap dosa dan kemaksiatan. Al-udwan, melampui
batas-batas syari’at dan adat (‘uruf) dalam soal mu’amalat, dan tidak berlaku
adil padanya.[18]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
tolong menolong dalam kebaikan dan takwa bearti melakukan kebaikan
seluas-luasnya serta menghindari bahaya yang mengancam seseorang mengenai agama
maupun didunianya.
e.
Menurut
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy
Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy
tafsiran QS. Al-maidah ayat 2 yaitu:
Saling membantu dalam kebaktian yaitu segala macam
kebajikan yang dituntut syara’ dan mampu menumbuhkan ketenangan hati. Janganlah
membantu dalam perbuatan berdosa, yaitu yang membawa durhaka kepada Allah,
sebagaimana kamu jangan bertolong-tolonglah dalam permusuhan. Al-Qur’an
menyuruh kita saling memberikan pertolongan dalam segala sesuatu yang memberi
manfaat kepada umat, baik mengenai dunia maupun mengenai akhirat. [19]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa manusia
diperintahkan untuk saling memberikan pertolongan dalam segala sesuatu yang
memberikan manfaat kepada umat dalam segala macam kebajikan yang dituntut
syara’ dan mampu menumbuhkan ketenangan hati.
2.
Hadis Pendukung QS. Al-maidah Ayat 2
ءن ابي هر ير ة ر ضي ا لله ءنه قا ل : قا ل ر
سو ل ا لله صلي ا لله ءله و سلم : من نفس ءن مسلم كر بة من كر ب ا لد نيا نفس ا
لله ءنه كر بة من كر ب يو م ا لقيا مة و من يسر ءاي معسر يسر يسر ا لله عليه في ال
نيا و ا لا خر ة و ا لا خر ة و من ستر مسلما ستر ه ا لله في ا لد نيا و ا لا خر ة
و ا لله في ءو ن ا لعبد في ءو ن ا لله (ا خر مسلم )
“Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW.
bersabda, “ Barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari
kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa memberi kelonggaran kepada
seorang yang susah, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan
akhirat, dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutup
aib dia di dunia dan akhirat. Dan Allah selamanya menolong Hamba-Nya, selama
hamba-Nya menolong saudaranya.”[20]
Hadist diatas mengajarkan kepada kita untuk
selalu memperhatikan sesama muslim dan dan memberikan pertolongan jika
seseoarang mendapatkan kesulitan. Orang muslim yang menbantu atau melonggarkan kesusahan
saudaranya seiman berarti telah menolong hamba Allah SWT. yang disukai oleh-Nya
dan Allah SWT. pun akan memberikan pertolongannya serta menyelamatkannya dari
berbagai kesusahan, baik di dunia dan di akhirat.
Orang mukmin pun harus berusaha menutupi aib
saudaranya. Ia harus berusaha menjaga rahasia saudaranya. Apalagi jika ia tahu
bahwa orang yang bersangkutan tidak akan senang kalau aib atau rahasianya
diketahui oleh orang lain. Namun demikian, jika aib tersebut berhubungan dengan
kejahatan yang telah dilakukannya, ia tidak boleh menutupinya. Jika hal itu
dilakukan, bearti ia telah menolong orang lain dalam hal kejahatan sehingga
orang tersebut terhindar dari hukuman.
Mereka yang suka menolong orang lain
dijanjikan akan mendapat penggantinya sesuai perbuatannya, baik didunia maupun
di akhirat. Tentu saja dalam memberikan pertolongan kepada orang lain jangan
berlebihan. Hal penting dalam melakukan perbuatan yang dianjurkan syara’
seperti menolong atau melonggarkan kesusahan orang lain, adalah tidak
mengharapkan pamrih tertentu dari orang yang ditolong, melainkan ikhlas adalah
semata-mata didasari rasa iman dan ingin mendapat Ridha-Nya.
3.
Pendapat Pakar BK tentang Ta’awun ( Tolong
Menolong)
Tidak semua pertolongan atau bantuan dapat
dikatakan sebagai bimbingan karena area yang dapat dikatakan suatu pertolongan
dapat dikatakan suatu bimbingan mempunyai sifat-sifat antara lain:
a. mendirikan pertolongan kepada seseorang yang
akan menyeberang jalan raya yang ramai dengan kendaraan.
b. memberikan pertolongan kepaada seseorang yang
sedang memikirkan anaknya dalam melanjutkan pendidikan setelah tamat sekolah
lanjutan pertama.
Dari dua contoh diatas dapat disimpulkan
bahwa pertolongan yang dikatakan sebagai bimbingan, menurut Bimo Walgito “Bimbingan merupakan suatu pertolongan yang
menuntun”. [21]
Hubungan dalam konseling bukan hubungan biasa, melainkan sengaja diciptakan oleh konselor
dengan maksud membantu memecahkan masalah yang dihadapi klien. “ Dalam
menciptakan hubungan dengan baik dengan klien, konselor juga perlu menekankan
bahwa hubungan itu bertujuan membantu klien agar keluar dari permasalahannya.”[22]
Hal tersebut perlu dilakukan oleh konselor untuk menanamkan kepercayaan kepada
klien bahwa konselor adalah orang yang dengan tulus dan ikhlas membantu
dirinya.
Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan helping, helping realitionship. “Helping relationship adalah hubungan
manusia antara anada sebagai konselor dengan helper dan klien anda, baik conection
(koneksi/pertalian) tatap muka maupun yang terjadi didalam pikiran
masing-masing.”[23] Suatu
hubungan helping ditandai oleh
ciri-ciri dasar tertentu. Pandangan Bruce Shertzer dan Shally C. Stone
sebagaimana dikutip oleh Andi Mappiare, adapun ciri-ciri hubungan helping adalah:
a.
Hubungan helping
penuh makna, bermanfaat.
b.
Afeksi sangat mencolok dalam hubungan helping.
c.
Keutuhan pribadi tampil atau terjadi dalam
hubungan helping.
d.
Hubungan helping
terbentuk melalui kesepakatan bersama individu-individu yang terlibat.
e.
Saling hubungan terjalin karena individu yang
hendak dibantu membutuhkan informasi, pelajaran, advis, bantuan, pemahaman dan
atau perawatan dari orang lain.
f.
Hubungan helping
dilangsungkan melalui komunikasi dan interaksi.
g.
Struktur hubungan helping adalah jelas atau gamblang.
h.
Upaya-upaya yang bersifat kerja sama (Collaborative) menandai helping.
i.
Orang- orang dalam helping ( helper) dapat dengan mudah ditemui atau didekati (approachable) dan terjamin ajeg secara
pribadi.
j.
Perubahan merupakan tujuan hubungan helping.[24]
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa antara hubungan konselor dengan klien mengandung unsur-unsur
pemberian bantuan. Dalam hubungan tersebut konselor menbantu klien untuk
menyelesaikan permasalahan yang sedang dialaminya.
4.
Pendapat Penulis
Dalam QS. Al-maidah ayat 2, Allah menuntun
manusia agar selalu tolong-menolong (ta’awun) antar sesamanya dalam kebaikan
dan didasari atas nilai takwa kepada Allah SWT.
Hal ini merupakan suatu prinsip yang harus dipegangi manusia dalam
menjalani kehidupannya diatas permukaan bumi ini. Adanya saling tolong menolong
bearti manusia telah menjalankan satu fitrah dasar yang diberikan Allah. Karena
manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak mampu hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain. Allah melarang umatnya untuk tolong menolong dalam berbuat
kejahatan dan kemungkaran.
Adapun kaitan antara ta’awun dengan Bimbingan
dan konseling yaitu sama-sama adanya proses membantu atau memberikan
pertolongan kepada individu. Bimbingan yang diberikan agar klien terhindar dan
mampu mengatasi berbagai persoalan atau kesulitan yang dihadapi oleh klien
dalam kehidupannya.
C.
Ayat ke 2 QS. Ali-Imran ayat 92 Tentang
Memberikan Sebagian Harta yang Dicintai
1.
Pendapat
Mufasir tentang QS. Ali-Imran ayat 92
a. Menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Menurut Teungku Muhammad Hasbi as h-Shiddieqy
tafsiran QS. Ali-Imran yaitu:
Tidak sekali-kali kamu akan memperoleh kebajikan dan
menjadi oarang yang diridhai oleh Allah, mendapatkan limpahan rahmat dari nikmat, serta masuk surga terlepas dari
azab, sebelum kamu membelanjakan sebagian dari harta yang kamu cintai. apa saja
yang kamu belanjakan dari hartamu dijalan Allah, baik atau pun buruk, Allah
akan memberikan pembelasan sesuai dengan apa yang kamu niatkan.[25]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa seseorang
tidak akan mendapatkan limpahan rahmat, nikmat dan menjadi orang yang diridhai
oleh Allah SWT sebelum ia membelanjakan sebagian harta yang ia cintai.
b. Menurut M. Quraish Shihab
Menurut M.Quraish Shihab tafsiran QS.
Ali-Imran ayat 92 yaitu:
Bahwa yang dinafkah
hendaknya harta yang disukai karena
kamu sekali-kali tidak meraih kebajikan ( yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara yang baik dan tujuan serta
motivasi yang benar sebagian dari apa,
yakni harta benda yang kamu sukai. jangan khawatir merugi atau menyesal dengan
pemberianmu yang tulus karena apa saja
yang kamu nafkahkan, baik itu dari yang kamu sukai maupun yang tidak kamu
sukai, maka sesungguhnya tentang
segala sesuatu menyangkut hal itu Allah
maha mengetahui, dan Dia yang akan memberi ganjaran untuk kamu, baik didunia
maupun diakhirat kelak.[26]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
hendaklah kita menafkahkan harta yang disukai agar memperoleh kebajikan yang
sempurna dan janganlah khawatir atau menyesal terhadap harta yang telah kita
nafkahkan tersebut.
c. Menurut Mahmud Yunus
Menurut Mahmud Yunus Tafsiran QS. Ali-Imran
ayat 92 yaitu:
Dalam ayat ini diterangkan bahwa agam Islam sangat
mementingkan amalan sosial, yang dinamai ihsan, artinya berbuat kebaikan kepada
orang lain. Seorang muslim tidak akan mendapatkan kebaikan, kecuali jika ia
mengorbankan sebagian hartanya untuk amalan sosial, seperti untuk fakir miskin,
anak-anak yatim, rumah, sekolah, masjid, terutama untuk perjuangan dan
menyiarkan agama Islam.[27]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
sebagai seorang muslim yamg memeluk yang beragama Islam sebaiknya dianjurkan
mementingkan hubungan sosial yaitu dengan berbuat baik kepada orang lain agar
kita memperoleh kebaikan, Seperti mengorbankan sebagian harta untuk amalan
sosial seperti untuk fakir miskin, sekolah, masjid, terutama memperjuangankan
dan menyiarkan agama Islam.
d. Menurut Lajnah Pentashihan Mushaf Al-qur’an
Kata Al –birr dimaknai berbuat baik.
pelakunya disebut sebagai orang yang suka berbuat baik. Menurut
M. Quraish Shihab, kata ini pada mulanya bearti “ keluasan dalam kebajikan”,
dan dari akar kata al-barr karena luasnya. kebajikan mencakup segala
bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniyah
termasuk menginfakkan harta dijalan Allah. Kata Al-birr dalam bahasa indonesia
lebih sering di artikan dengan “kebajikan”, Menurut Poerwadarminta dimaknai
dengan “sesuatu yang mendatangkan kebaikan.”[28]
Jika demikian seseorang yang ingin mencapai kebajikan seharusnya ia
mendatangkan kebaikan, artinya harta
atau apapun yang diinfakkan seharusnya memiliki faedah dan manfaat bagi
sipenerima.
Dari pendapat diatas dapat dipahami sebagai
seorang muslim jika hendak mencapai kebajikan maka ia harus mendatangkan
kebaikan dan suka berbuat baik kepada orang lain. Tidak hanya menafkahkan harta dijalan Allah
SWT., tapi termasuk segala bidang yang dapat mendatangkan manfaat dan
kebaikan bagi orang lain.
e. Menurut Wahbah az-Zuhaili
Menurut Wahbah az-Zuhaili Tafsiran QS.
Ali-Imran Ayat 92 yaitu:
Sekali-kali kalian tidak akan mencapai pahala kebaikan ,
yaitu surga dan sekali-kali kalian tidak akan dikategorikan sebagai orang-orang
baik yang berhak mendapatkan ridha, karunia dan rahmat Allah SWT serta
terjauhkan dari siksa-Nya sebelum kalian menyedekahkan dari sebagian harta yang
paling kalian cintai, yaitu harta-harta
yang berharga bagi kalian. Apa saja yang kalian sedekahkan, baik itu berupa
harta yang baik dan berharga atau harta yang bernilai rendah, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya dan akan membalasnya. Keikhlasan atau sikap riya’ didalam
beramal tidak sedikit pun samar bagi-Nya. [29]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
jika seorang muslim ingin mencapai pahala kebaikan dan ingin masuk ke surga,
mendapatkan rahmat dan karunia Allah SWT.,
serta terjauh dari siksanya maka kita harus menafkahkan sebagian harta
yang kita cintai kepada orang lain. Karena apa saja yang kita sedekahkan akan
dibalas oleh Allah SWT., baik harta yang bernilai rendah maupun harta yang
bernilai tinggi.
2.
Hadis Pendukung QS. Ali-Imran Ayat 92
حد يث ابي هريرة ر ضي الله عنه قل: اتى
ر سو ل الله صل الله ءليه و سلم رجل
فقل ي رسو الله اي الصد قة اعظم فقل ان تصد ق و ا
نت صحيح شحيح تخش ا
لفقر و ت مل الخنى ول تمهل حتى اذا بلخت الحلقو م
قلت لفل ن كذا و لفل ن كذا
ال و قد كن لفل ن
“Diriwayatkan
dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia
telah berkata: “Ada seseorang laki-laki datang menghadap Rasulullah
‘alaihi wa salam, lalu berkata: “ Wahai Rasulullah, apakah sedekah yang paling
utama? “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Engkau bersedekah
ketika masih sehat dan harta tersebut masih engkau sayangi , ketika engakau
khawatir menjadi kafir dan bercita-cita untuk menjadi kaya. Janganlah engkau
tangguhkan sedekah itu hingga roh sampai di hulkum (tenggorokan). Dalam keadaan
seperti itu barulah engkau berkata: “Berikanlah kepada si Pulan ini dan si
Pulan itu. Padahal sudah selayaknya kalau hal tersebut menjadi hak si Pulan.” [30]
Hadis di atas menerangkan bahwa tentang
sedekah ( memberikan harta) ketika masih sehat dan masih menyukai dan
mencintaikan harta atau barang yang diberikan kepada orang lain. Tidak
selayaknya bagi seorang muslim memberikan sesuatu harta yang dia sendiri tidak
menyukainya. Dan tidak layak memberikan harta ketika ajal sudah menjelang,
padahal sebelumnya enggan untuk bersedekah.
3.
Pendapat Pakar tentang Memberikan Sebagian
Harta yang Dicintai
Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di menerangkan bahwa:
Anjuran dari Allah SWT.,
kepada para hamba-Nya untuk berinfak di berbagai jalan kebaikan. Allah
SWT., menyatakan kalian tidak akan meraih al-birr
yaitu setiap kebaikan berupa berbagai ketaatan dan ganjaran yang mengantarkan
pelakunya ke dalam surga. Hingga kalian menginfakkan apa yang kalian cintai,
yaitu harta-harta kalian yang berharga, yang disenangi oleh jiwa-jiwa kalian.
Jika kalian lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah dari pada kecintaan kepada
harta, lalu kalian mengeluarkannya dengan tujuan menggapai keridhaan-Nya, hal
itu menunjukkan keimanan yang jujur, ketaatan hati, dan juga kebenaran takwa
kalian. Termasuk dalam hal ini adalah
menginfakkan harta yang bernilai, berinfak dalam keadaan orang yang berinfak
tersebut membutuhkan apa yang diinfakkannya, dan berinfak dalam keadaan sehat.
Seorang hamba dinilai ketaatannya berdasarkan harta yang disenanginya yang dia
infakkan, dan semakin berkurang pula ketaatannya jika infaknya semakin berkurang.[31]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa seorang muslim tidak akan memperoleh kebaikan
dan ganjaran berupa surga sebelum kalian menginfakkan apa yang kalian cintai,
yaitu harta-harta kalian yang berharga, yang disenangi oleh jiwa-jiwa kalian. Janganlah
memberikan sesuatu yang tidak kita senangi kepada orang lain karena Allah akan menilai ketaatan seorang
hamba berdasarkan harta yang disenangi yang diberikan kepada orang lain. Jadi
infakkanlah harta yang kita cintai dan sukai kepada orang lain agar memperoleh
kebaikan dan ganjaran surga.
4.
Pendapat Penulis
Seorang Muslim hendaklah selalu memberikan
sebagaian harta yang kita cintai kepada orang lain agar mendapatkan limpahan
rahmat dan nikmat serta menjadi orang yang diridhai oleh Allah SWT. Harta yang
kita berikan kepada orang lain adalah harta yang kita cintai maksudnya agar
harta yang kita berikan mendatangkan manfaaat, faedah dan kebaikan bagi orang
lain.
Janganlah kita khawatir dan menyesal terhadap
apa yang telah kita berikan kepada orang lain karena apa saja yang kita
nafkahkan kepada orang lain akan dibalas dengan balasan yang lebih baik. Jika
seorang muslim ingin mencapai pahala kebaikan dan ingin masuk ke surga,
mendapatkan rahmat dan karunia Allah SWT.,
serta terjauh dari siksanya maka kita harus menafkahkan sebagian harta
yang kita cintai kepada orang lain. Karena apa saja yang kita sedekahkan akan
dibalas oleh Allah SWT., baik harta yang bernilai rendah maupun harta yang
bernilai tinggi.
Seorang muslim jika hendak mencapai kebajikan
maka ia harus mendatangkan kebaikan dan suka berbuat baik kepada orang lain.
Menafkahkan harta yang kita cintai di jalan Allah SWT., yang dapat mendapatkan
manfaat bagi orang lain seperti memberikan sebagian harta yang kita cintai
kepada fakir miskin, anak yatim, sekolah, masjid dan terutama untuk
memperjuangankan dan menyiarkan agama Islam.
D. Ayat
ke 3 QS. Saba’ Ayat 39 Tentang Menafkahkan Harta
1.
Pendapat Mufasir QS. Saba’ Ayat 39
a. Menurut Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman
Al Syaikh
Kapan
saja kamu menafkahkan sesuatu yang diperintahkan dan diperbolehkan
kepada kalian, maka dia pasti akan memberi gantinya untuk kalian di dunia.
sedangkan di akhirat, digantikan dengan balasan dan pahala. Sutfyan ats-Tsauri
berkata, bahwa abu yunus al-Hasan bin Yazid berkata, “dan barang apa saja yang
kamu nafkahkan maka Allah akan mengantinya”. Jika seorang kalian memiliki
sesuatu yang dapat mendukung (mencukupi) kehidupannya, maka hendaklah berhemat
dalam nafkahkan, karena rizki itu telah ditentukan pembagiaanya.”[32]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa Apa
saja yang kita nafkahkan dijalan Allah maka akan diganti dengan yang lebih baik
di dunia sedangkan diakhiratkan akan dibalas dengan pahala.
b. Menurut Aidh al-Qarni
Menurut Aidh al-Qarni tafsiran QS. Saba’ ayat
39 yaitu “Semua harta dan bantuan yang telah kalian berikan dijalan Allah akan
diganti oleh-Nya berupa tambahan rezki kalian didunia dan pahala yang besar
diakhirat. Allah SWT. adalah sebaik-baik pemberi rezki.” [33]
Pemberian Allah meliputi semuanya, baik orang yang saleh maupun yang jahat.
Allah tidak mengharapkan manfaat dari pemberian karunia-Nya. Hendaklah kalian
meminta rezki kepada Allah Yang Maha Esa dan hendaklah kalian berusaha mencari
reski dengan cara yang halal.
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa
seseorang akan mendapatkan riski didunia
dan pahala yang besar dia akhirat jika ia menafkahkan dan memberikan
bantuan keapada orang lain dijalan Allah SWT., dan Allah SWT., adalah
sebaik-baik pemberi rezki. Hendaklah meminta rezki kepada Allah SWT.,karena
pemberian Allah meliputi semuanya baik orang yang saleh maupun orang yang jahat
dan gunakan cara yang halal untuk mendapatkan rezki.
c. Menurut Ahmad Mustafa Al-Maragi
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maragi tafsiran QS.
Saba ayat 39 yaitu “Dan apa yang kamu belanjakan sesuai dengan apa yang
diperintahkan Tuhanmu kepada kami, dan sesuai dengan apa yang dibolehkan
kepadamu. Maka, Dia akan menggantikan padamu dengan sesuatu ganti di dunia
berupa harta dan diakhirat berupa pahala. Setiap yang telah berlalu ada
gantinya yang lain”.[34]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa semua
harta yang kita nafkahkan, bila harta sesuai dengan yang diperintahkan Allah
SWT., maka akan mendapatkan balasan dari
Allah SWT., karena setiap yang berlalu akan ada gantinya berupa harta di dunia
dan pahala di akhirat.
d. M. Quraish Shihab
Menurut M. Quraish Shihab Tafsiran QS. Saba’
ayat 39 yaitu:
Allah mengatur dan menetapkan perolehan rezeki
semata-mata karena kebijaksanaan-Nya dan karena itu kamu tidak perlu risau
menyangkut perolehan rezeki tidak juga bersifat kikir dalam menafkahkannya
karena barang apa saja yang kamu
nafkahkan, maka Dia yang Mahakuasa
akan menggantikanya di dunia atau di akhirat, pengganti yang serupa atau
lebih baik darinya. Itu pun dasar kehendak-Nya. Dia-lah yang Mahakaya dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.[35]
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa seorang muslim tidak bolek khawatir terhadap
perolehan rezeki dan tidak boleh memiliki sifat kikir dalam menafkahkan harta karena
apa yang kita nafkahkan akan diganti oleh Allah SWT., dengan sesuatu yang lain
baik di dunia maupun di akhirat dengan ganti yang lebih baik dari harta yang
dinafkahkan tersebut.
Karena
Allah SWT., sebaik-baik pemberi rezeki serta Allah SWT., mengatur dan
menetapkan rezeki semata-mata kebijaksanaannya.
e. Menurut Kementerian Agama RI Al-Quran dan
Terjemahannya.
Menurut Menurut Kementerian Agama RI Al-Quran
dan Terjemahannya. Tafsiran QS. Saba’ ayat 39 yaitu:
Katakan, hai nabi “ Sesungguhnya tuhanku melapangkan
rizki bagi siapa yang dikehendakinya diantara hamba-hambanya yang menyempitkannya
kepada semua yang dikehendakinya.” Dan barang siapa saja dari hartamu yang kamu
nafkahkan untuk mencari keridaan Allah dan ketaatan kepada-Nya maka Allah akan
akan menggantikannya didunia dengan ganti harta dan di akhirat dengan pahala
yang banyak yang dia lah pemberi rezeki yang sebai-baiknya.
Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa Allah
SWT., akan melapangkan dan meyempitkan
harta bagi siapa yang dikehendakinya. Harta yang kita nafkahkan untuk mencari
keridhaan Allah SWT., dam ketaatan kepada-Nya maka Allah SWT., maka Allah SWT.,
akan menggantikannya di dunia berupa harta dengan di akhirat berupa pahala
karena Allah SWT., adalah sebaik-baik pemberi rezeki.
2.
Hadis Pendukung QS. Saba’ Ayat 39
ءن ا بن ءمر ر ضي ا
لله ءنهما ا ن ر سو ل ا لله صلي ا لله ءليه و سلم قا ل: ا لمسلم ا خو ا لمسلم لا
يظلمه و لا يسلمله من كا ن في حا جة ا خة ا خيه كا ن ا لله في حا خته و من فر ج ءن
مسلم كر بة فر ج ا لله ءنه بها ر بة من كر ب يو م
القيا مة و
من ستر مسلما ستر ه
ا لله يو م القيا مة متفق ءليه
“Dari Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda,
seorang muslim adalah saudaranya muslim ( yang lain), dia tidak menganiaya dan
menyerahkan saudaranya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya Allah
memenuhi kebutuhannya. Barang siapa melepaskan dari seorang muslim niscaya
Allah menutup aibnya didunia dan diakhirat. ( Muttafaq ‘Alaih).”[36]
Hadis diatas menjelaskan kepada kita bahwa orang Islam
itu satu sama lainnya bersaudara. Persaudaraan itu menghendaki tidak saling
menganiaya dan tidak membiarkan saudaranya dianiaya oleh orang lain. Seorang mukmin yang memenuhi kebutuhan
saudaranya maka Allah SWT., pun akan memenuhi kebutuhannya. Karena itu apabila
kita mendapati seorang muslim menderita kelaparan, kita perlu memberikan
makanan agar terlepas dari rasa lapar. Jika kita melihat seorang muslim yang
sakit, maka kita perlu memanggil dokter untuk mengobatinya. Jika kita menutup
aib saudara kita maka Allah SWT., akan menutupi
kejelekan kita di akhirat.
3.
Pendapat Pakar tentang Menafkahkan Harta
Menurut
Ath-Thabrani seperti dikutip oleh Yusuf Saefullah dalam ( Sohari dkk)
mengatakan bahwa “Amal yang paling utama ialah memberikan kebahagiaan kepada
orang Mu’min, seperti memberikan pakaian untuk menutupi auratnya, menghilangkan
rasa laparnya atau memberikan apa yang dibutuhkan.”[37]
4.
Pendapat Penulis
Seorang muslim hendaklah kita mementingkan
amalan sosial dengan berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan sebagian
harta yang kita miliki , seperti untuk fakir miskin, anak-anak yatim, sekolah,
mesjid, terutama untuk perjuangan dan menyiarkan agama Islam. Agar orang lain mendapatkan manfaat dengan
harta yang kita berikan.
Semua harta yang kita nafkahkan, bila harta
tersebut sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT., maka akan mendapatkan balasan dari Allah
SWT., karena setiap yang berlalu akan ada gantinya berupa harta di dunia dan
pahala di akhirat.
Seorang
muslim tidak boleh khawatir terhadap perolehan rezeki dan tidak boleh memiliki
sifat kikir dalam menafkahkan harta karena apa yang kita nafkahkan akan diganti
oleh Allah SWT., dengan sesuatu yang lain baik di dunia maupun di akhirat
dengan ganti yang lebih baik dari harta yang dinafkahkan tersebut. Karena Allah
SWT., sebaik-baik pemberi rezeki serta Allah SWT., mengatur dan menetapkan
rezeki semata-mata kebijaksanaannya.
Allah SWT., akan melapangkan dan meyempitkan
harta bagi siapa yang dikehendakinya. Harta yang kita nafkahkan untuk mencari
keridhaan Allah SWT., dan ketaatan kepada-Nya maka Allah SWT., maka Allah SWT.,
akan menggantikannya di dunia berupa harta dengan di akhirat berupa pahala
karena Allah SWT., adalah sebaik-baik pemberi rezeki.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seorang mukmin hendaknya menanamkan rasa saling
tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan ketakwaan kepada-Nya. Sebab
dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah. Sementara saat berbuat baik,
orang-orang akan menyukai. Barang siapa memadukan antara ridha Allah dan ridha
manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah
melimpah.
Dalam firman Allah Q.S Al-Maidah Ayat 2 dijelaskan bahwa
Tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan adalah salah satu kewajiban umat
muslim”. artinya, seandainya kita harus menolong orang lain, maka harus
dipastikan bahwa pertolongan itu menyangkut dengan ketakwaan. Saling tolong
menolong juga menyangkut berbagai macam hal, asalkan berupa kebaikan, walaupun
yang meminta tolong musuh kita. Sebab, dengan saling tolong menolong akan
memudahkan pekerjaan, mempercepat terealisasinya kebaikan, menampakan persatuan
dan kesatuan.
Dalam firman Allah Q.S Ali-imran Ayat 92 dijelaskan bahwa
yang dinafkah hendaknya harta yang
disukai karena kamu sekali-kali tidak
meraih kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan dengan cara yang
baik dan tujuan serta motivasi yang benar sebagian
dari apa, yakni harta benda yang kamu
sukai. jangan khawatir merugi atau
menyesal dengan pemberianmu yang tulus karena apa saja yang kamu nafkahkan, baik itu dari yang kamu sukai maupun
yang tidak kamu sukai, maka sesungguhnya
tentang segala sesuatu menyangkut hal
itu Allah maha mengetahui, dan Dia yang akan memberi ganjaran untuk kamu,
baik didunia maupun diakhirat kelak.
Dalam firman Allah Q.S Saba’ ayat 39 dijelaskan bahwa
Semua harta dan bantuan yang telah kalian berikan dijalan Allah akan diganti
oleh-Nya berupa tambahan rezki kalian didunia dan pahala yang besar diakhirat.
Allah SWT., adalah sebaik-baik pemberi rezki.
B.
Saran
Seorang mukmin hendaknya menanamkan rasa saling
tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan ketakwaan kepada-Nya. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan, karena sempurna itu hanya milik Allah. Maka dari itu
penulis meminta kritik dan saran dari pembaca. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan bagi penulis dalam memahami
konsep Ta’awun dalam Al-Quran.
[1] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas
Berbagai Persoalan Umat ( Bandung: Mizan, 1994), hal. 3
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Jakarta : Gema Insani,
2014), Hal 1
[3]Makhmud
Syafe’i, Al-Quran Sebagai Sumber Nilai Islam, (Online), Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195504281988031-Mahkmud_Syafe’i%27I/AL-Quran_Sebagai
Sumber_Nilai_Islam _%284_Halaman%29.pdf, (10 Mei 2016)
[4]
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran Penej Mudzakir
(Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2012) hal. 17
[5]Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah,
‘Ulum Al-Quran ( Batusangkar: STAIN
Batusangkar Press, 2010), hal. 3
[6] Abd Ah-Hayy Al-Farmasi, Metode Tafsir Mawdhu’iy ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1994). hal. 1
[7]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran . . . , hal 12-13
[8]As.
Purwandani, Studi Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang dengan Jaminan,
(Online). Tersedia: http://digilib.uinsby.ac.id/8047/4/bab%201.pdf. (17 Juni 2016)
[9]
Sohari dkk, Hadis
Tematik ( Jakarta: Diadit Media, 2006) hal. 207
[10]Siti Afiah, Tolong Menolong Dalam Islam, 2015, (Online), Tersedia: http://gardapena.blogspot.co.id/2015/09/tolong-menolong-dalam-islam.html. (17 Juni 2016)
[11]Iahsolikhah, Ta’awun
dan Israf, 2011, (Online), Tersedia:https://iahsolikhah
.wordpress. com tawun-dan-israf/. (05 April 2016)
[12] Siti Afiah, Tolong Menolong Dalam Islam, 2015, (Online), Tersedia: http://gardapena.blogspot.co.id/2015/09/tolong-menolong-dalam-islam.html. (17 Juni 2016
[13] Mushthafa Al Ghalayini, Bimbingan Menuju Ke Akhlak Luhur (
Semarang: CV Toha Putra, 1976), hal 223
[14] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-qur’an,
Tafsir Al-qur’an Tematik (Jakarta:
Kamil Pustaka,2014), hal.43
[15] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishab: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 13
[16] Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-ahkam (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), hal. 334
[17] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-qur’an, Tafsir
Al-qur’an Tematik (Jakarta: Kamil Pustaka,2014), hal.43
[18]
Ahmad Musthafa Al-Magribi, Tafssir
Al-Magribi ( Semarang: Tohaputra, 1987),
hal 80
[19] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-qur’anul Madjid An-nur Jilid 1 (Jakarta: Cakrawala Publishing), hal.634
[20] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis
Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum ( Bandung: CV Pustaka Setia), Hal.252
[21]Sutirna, Bimbingan dan Konseling (
Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2013) hal. 10
[22]Farid Mashudi, Psikologi Konseling (yogyakarta:
Ircisod, 2013) hal.59
[23]
Richard Nelson, Penej.
Helly Prajitno Soetjipto, Pengantar
Keterampilan Konseling (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 55
[24] Andi Mappiare AT, Pengantar Konseling dan Psikoterapi (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 2-3
[25]
Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-qur’anul Madjid An-nur Jilid 1 (Jakarta: Cakrawala Publishing), hal
399-400
[26]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishab: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al Qur’an ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal 180
[27] Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim ( Jakarta: PT Mahmud
Yunus Wa Dzurriyyah, 2011 ) hal. 82
[28]Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-qur’an, Tafsir
Al-qur’an Tematik (Jakarta: Kamil Pustaka,2014), hal.168
[29] Wabah Az-Zuhaili, Tafsir Almunir Jilid ( Jakarta: Gema
Insani, 2013) hal. 335
[30]
Ahmad Mudjad Mahalli, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alahi Bagian Ibadah
(Jakarta: Kencana, 2003) hal. 494-495
[31]Abu Mu’awiyah
Askari bin Jamal, Berinfak dengan Harta yang Disukai, 2012, (Online), Tersedia:
http://asysyariah.com/berinfak-dengan-harta-yang-disukai/, (17 Juni 2016)
[32] Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman Al Syaikh, lubaatut tafsir min Ibni Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7 Penej. M. Abdul Ghoffar ( Jakarta:
pusataka imam Asy-Syafi’i, 2008 hal. 381-382
[33]Aidh al-Qarni, at-Tafsir al-Muyassar, Tafsir Muyassar
3, Penej. Tim Qisthi Press, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), hal.453
[34] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir
Al-Maragi 22, Penej, Bahrun Abubakardkk
( Semarang: PT.Karya Toha Putra Semarang, 1992), hal. 151
[36]
Sohari dkk, Hadis
Tematik ( Jakarta: Diadit Media, 2006) hal. 209
[37]
Sohari dkk, Hadis .
. . , hal. 210-211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar