KESEHATAN MENTAL DALAM PSIKOLOGI
ISLAM
A. Pendahuluan
Sebagai makhluk
yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu
kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya
mengatasi problema tersebut. Upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang
irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah.
Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat
yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan
psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat Islam,
karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah mengalami problem
psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang
ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak.
Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada
zaman apa pun, jika hidupnya bermakna.
Islam
menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas
berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya
dengan tuntunan kesehatan. Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan
terhadap batasan atau definisi kesehatan mental (mental healt).
Hal itu disebabkan antara lain karena adanya
berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan
pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan mental.
Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam mencapai
dan mengusahakan mental yang sehat. Perbedaan
itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu
justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa dan
bagaimana kesehatan mental. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis akan
membahas tentang kesehatan mental dalam pandangan psikologi islam.
B. Kesehatan Mental Dalam Psikologi
Islam
1. Pengertian Kesehatan Mental
Dalam
litelatur psikologi, ditemukan beberapa pengertian tentang kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama
secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Kesehatan mental
yang dimaksud disini lebih terfokus pada kesehatan yang berwawasan agama.
Pemilihan ini selain karena konsistensi dengan pola-pola yang dikembangakan
dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah islam yang
berkembang.
Ibn
Rusyd misalnya “Fashl al-Maqal” menyatakan,
“takwa itu merupakan kesehatan mental (shihhah
al-nufus)”. Statement itu menunjukkan bahwa dialektika kesehatan mental
telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak mau harus
dijadikan suatu keutuhan wacana psikologi islam saat ini.
Atkinson
menentukan kesehatan mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi
kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa
pada prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat.
Atkinson
menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan seseorang yaitu[1]:
a.
Persepsi realita yang efisien. Individu
cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasikan
terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap
orang lain, serta tidak berlebihan dalam memuja diri sendiri.
b.
Mengenali diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah
individu yang memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun
tak seorang pun yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
c.
Kemampuan untuk mengembalikan perilaku
secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan
kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya.
d.
Harga diri dan penerimaan. Penyesuaian
diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri sendiri dan
merasa diterima oleh orang disekitarnya.
e.
Kemampuan untuk membuat ikatan kasih.
Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu
memuaskan orang lain.
f.
Produktivitas, individu yang baik adalah
individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas
produktif.
Dengan berpijak beberapa pola diatas,
Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan “ terwujudnya
keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara
individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai
hidup bermakna dan berbahagia didunia
dan diakhirat”.[2]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa kesehatan mental adalah kemampuan
individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan
keimanan dan ketakwaan, sehingga
mencapai hidup yang bermakna dan bahagia didunia dan diakhirat.
2. Tanda-Tanda Kesehatan Mental Dalam
Islam
Menurut
Muhammad Mahmud ada sembilan macam tanda-tanda kesehatan mental yaitu:
a.
Kemapanan
( al-sakinah), ketenangan ( althuma’ninah), dan rileks ( al-rahah) bathin dalam menjalankan
kewajiban terhadap dirinya, masyarakat dan tuhan.
Al-Zhuhaili dalam tafsirnya memberi arti
sakinah dengan ketetapan atau ketenangan ( al-tsabat
dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala kecemasan ( al-qalaqanxiety) dan
kesulitan atau kesempitan batin ( al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti
meninggalkan permusuhan atau peperangan, rasa aman, hilangnya ketakutan, dan
kesedihan dari jiwa.
Kondisi
mental yang tenang dan tentram yaitu: adanya kemampuan idividu dalam menghadapi
perubahan dan persoalan zaman, kemampuan individu dalam bersabar menghadapi
persoalan-persoalan hidup yang berat,
kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh
kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah Q.S
al-Insyirah ayat 4-5.
b.
Memadahi (alkifayah) dalam beraktivitas.
Seseorang
yang mengenal potensi, keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat
bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mental,
sebaliknya seseorang yang memaksa menduduki jabatan tertentu dalam bekerja
tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka hal itu akan mengakibatkan tekanan
bathin, yang pada saatnya akan
mendatangkan penyakit mental. Sebagaimana
dijelaskan dalam Firman Allah QS Yasin: 35.
c.
Menerima keberadaan dirinya dan
keberadaan orang lain.
Orang
yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan
dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi maupun kemampuannya, karena kemampuan
itu merupakan anugrah dari Allah SWT.
Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk
menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul
dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Dijelaskan dalam Firman Allah QS al-nisa’ ayat
32.
d.
Adanya kemampuan untuk memelihara dan
menjaga diri.
Artinya kesehatan mental seseorang ditandai
dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan
dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa
harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada
Allah SWT.
e.
kemampuan untuk memikul
tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung
jawab menunjukkan kematangan seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan
mental.
f.
memiliki kemampuan
untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.
Berkorban
berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan
sebagian kepercayaan dan atau kemampuannya. Sedangkan menebus kesalahan yang
diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala resiko akibat kesalahannya,
kemudia ia senantiasa berusaha untuk memperbaikinya agar tidak melakukan
kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
g.
Kemampuan individu untuk membentuk
hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi.
Hal
itu dianggap sebagai tanda kesehatan mental, karena masing-masing pihak merasa
hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah maka yang lain ikut
menbantunya.
h.
Memiliki keinginan yang realistik,
sehingga dapat diraih secara baik
Keinginan yang terealisir dapat memperkuat
kesehatan mental, sebaliknya keinginan yang terkatung-katung akan menambah
beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
i.
adanya rasa kepuasan, kegembiraan (
al-farh atau surur) dan kebahagiaan ( al-sa’adah ) dalam mensikapi atau menerima
nikmat yang diperoleh.
Kepuasan
dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu
merasa sukses, telah terbebas dari segala beban dan terpenuhi kebutuhan
hidupnya.
3. Agama dan Pengaruhnya Terhadap
Kesehatan Mental
Orang
yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu
merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan
kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat
dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.[3]
Beberapa
temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya
hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut,
langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal
dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran
dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan
kimia tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar,
getaran, arus listrik), (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal
pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur),
mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan. [4]
Sejak
berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang
mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara
hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau
autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan
bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan
autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit
ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang
menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan
dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.
Barangkali
hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama
sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri
seseorang terhadap kekuasaan Tuhan. [5]Sikap
pasrah yang serupa itu diduga akan sikap optimis pada diri seseorang
sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas,
sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang
demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah
kejadiannya,sehat jasmani dan ruhani.
4. Kesehatan Mental Dalam Islam
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa
terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi
kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang
secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian dalam Islam
dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas
“insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam
dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan.
Sikap dan tingkah lakunya benar-benar
merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji dan
bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan,
kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Kesan demikian
pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya
mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang
dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang
terungkap dalam firman Allah SWT (QS. Ar-Ra’du ayat 11.[6]
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam
mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan
apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara
sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan
merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah
padanya. Sudah tentu upaya-upaya dapat
meraih hidayah Allah SWT itu harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Selain itu dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak
terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan
nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.
5. Upaya Mencapai Kesehatan Mental
Menurut Moeljono Notosoedirjo, guru
besar psikiatri dan kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program
Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan
beberapa kesehatan mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan
psikologis berada dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan
mental telah membuat
kriteria-kriteria atau kondisi optimum
seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi yang sehat. Kondisi optimum ini
dapat dijadikan sebagai acuan dan arah yang dapat dituju dalam melakukan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
mental serta pencegahannya.
Di kalangan ahli kesehatan mental,
istilah yang digunakan untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda, kriteria
yang dibuat pun tidak sama
secara
tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow
menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers
menyebutnya dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature
personality, dan banyak yang menyebut dengan mental health.[7]
Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan meskipun
berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagianberikut akan diuraikan
berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu persatu, dengan
maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang kondisi mental yang
sehat.
Manifestasi mental yang sehat (secara
psikologis) menurut Maslow dan Mittlemenn adalah sebagai berikut.
a.
Adequate feeling of security (rasa
aman yang memadai). Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan,
sosial, dan keluarganya.
b.
Adequate self-evaluation (kemampuan
menilai diri sendiri yang memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai,
yaitu merasa ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya, (b)
memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk akal, dengan
perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan mampu mengenai
beberapa hal yang secara sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak
umum yang selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.
c.
Adequate
spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan yang
memadai, dengan orang lain), Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan
emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta,
kemampuan memberi ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan
kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan
menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada
suatu saat, tetapi dia harus memiliki alasan yang tepat.
d.
Efficient
contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan realitas) Kontak
ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan diri sendiri
atau internal. Hal ini ditandai (1) tiadanya fantasi yang berlebihan, (2)
mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas terhadap dunia, yang
disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya
sakit dan kegagalan. dan (3) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal
tidak dapat dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa
dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).
e.
Adequate
bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan jasmani
yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini ditandai dengan (1)
suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima mereka
tetapi bukan dikuasai; (2) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari
dunia fisik dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan;
(3) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan tanpa
rasa takut dan konflik; (4) kemampuan bekerja; (5) tidak adanya kebutuhan yang
berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas tersebut.
f.
Adequate self-knowledge (mempunyai
kemampuan pengetahuan yang wajar). Termasuk di dalamnya (1) cukup mengetahui
tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan,
perasaan rendah diri, dan sebagainya; dan (2) penilaian yang realistis terhadap
milik dan kekurangan. Penilaian diri yang jujur adalah dasar kemampuan untuk
menerima diri sendiri sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau
mengakui) sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara
hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan
selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.
g.
Integration and concistency of
personality (kepribadian yang utuh dan konsisten).
Ini bermakna (1) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam
beberapa aktivitas; (2) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu
berbeda dengan pandangan kelompok; (3) mampu untuk berkonsentrasi; dan (4)
tiadanya konflik-konflikbesar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi
terhadap kepribadiannya.
h.
Adequate
life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (1) memiliki
tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; (2) mempunyai usaha yang cukup dan tekun
mencapai tujuan; dan (3) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan
masyarakat.
i.
Ability
to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari pengalaman).
Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya kumpulan
pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi
elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan
dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting
lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.
j.
Ability to satisfy the requirements
of the group (kemampuan memuaskan tuntutan kelompok).
Individu harus: (1) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain dalam
cara yang dianggap penting oleh kelompok: (2) terinformasi secara memadai dan
pada pokoknya menerima cara yang berlaku dari kelompoknya; (3) berkemauan dan
dapat menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya; (4) dapat
menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan oleh kelompoknya: ambisi,
ketepatan; serta persahabatan, rasa tanggung jawab, kesetiaan, dan sebagainya,
serta (5) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.
k.
Adequate
emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi yang memadai
dari kelompok atau budaya), Hal ini mencakup: (1) kemampuan untuk menganggap
sesuatu itu baik dan yang lain adalah jelek setidaknya; (2) dalam beberapa hal
bergantung pada pandangan kelompok; (3) tidak ada kebutuhan yang berlebihan
untuk membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok; dan (4) untuk
beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap perbedaan budaya.
Kartini Kartono berpendapat ada tiga
prinsip pokok untuk mendapatkan kesehatan mental, yaitu;
a.
Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki
dorongan-dorongan dan kebutuhankebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan
psikis) dan yang bersifat sosial. Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu
menuntut pemuasan. Timbullah ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya.
Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhankebutuhan terpenuhi, dan cenderung
naik/makin banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.
b.
Kepuasan.
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik
yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang,
aman terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan
diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang, lalu timbullah Sense
of Importancy dan Sense of Mastery, (kesadaran nilai dirinya dan
kesadaran penguasaan) yang memberi rasa senang, puas dan bahagia.
c.
Posisi dan status sosial
Setiap individu selalu berusaha mencari
posisi sosial dan status sosial dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan
cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri
aman/assurance, keberanian dan harapan-harapan di masa mendatang. Orang
lalu menjadi optimis dan bergairah. Karenanya individu-individu yang mengalami
gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman. Mereka senantiasa
dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Dia tidak mempunyai
kepercayaan pada diri sendiri dan hari esok, jiwanya senantiasa bimbang dan
tidak imbang. Zakiah Darajat berpendapat kehilangan ketentraman batin itu,
disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan perasaan,
baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam masyarakat.
C. Penutup
1. Kesimpulan
kesehatan
mental yaitu terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan
keimanan dan ketakwaan serta bertujuan
untuk mencapai hidup bermakna dan
berbahagia didunia dan diakhirat.
hubungan
antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai
keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang
terhadap kekuasaan Tuhan. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan sikap
optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa
bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan
kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai
dengan fitrah kejadiannya,sehat jasmani dan ruhani.
2. Saran
Demikianlah
makalah ini penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada semua pihak agar
dapat menambahkan wawasan dengan melengkapi sumber-sumber bacaan yang
berhubungan dengan materi ini. penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang
tentunya menbangun demi kesempurnaan makalh-makalah selanjutnya. Selanjutnya
atas kritik dan saran yang telah diberikan penulis mengucapkan terima kasih.
[1] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam ( jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 135
[2]
Abdul Mujib dan Yusuf
Mudzakir, Nuansa-Nuansa . . . , hal.
136
[3]Tersedia
di http://counselingtreatment.weebly.com/kesehatan-mental.html
diakses tanggal 01 Desember 2015
[4]
Jalaluddin, Psikologi Agama ( Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 155
[5]
Jalaluddin, Psikologi Agama . . . , hal 158
,
1997), hal. 150
[7] Moeljono
Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep & Penerapan ( Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 1999), hal.
24-31
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
BalasHapus