Selasa, 03 Mei 2016

Kesehatan Mental Dalam Psikologi Islam



KESEHATAN MENTAL DALAM PSIKOLOGI ISLAM

A.    Pendahuluan
Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut. Upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah.
 Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna.
 Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan. Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap batasan atau definisi kesehatan mental (mental healt).
Hal itu disebabkan antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda.  Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental yang sehat.  Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan mental. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang kesehatan mental dalam pandangan psikologi islam.





B.     Kesehatan Mental Dalam Psikologi Islam
1.      Pengertian Kesehatan Mental
Dalam litelatur psikologi, ditemukan beberapa pengertian tentang kesehatan mental. Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Kesehatan mental yang dimaksud disini lebih terfokus pada kesehatan yang berwawasan agama. Pemilihan ini selain karena konsistensi dengan pola-pola yang dikembangakan dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah islam yang berkembang.
Ibn Rusyd misalnya “Fashl al-Maqal” menyatakan, “takwa itu merupakan kesehatan mental (shihhah al-nufus)”. Statement itu menunjukkan bahwa dialektika kesehatan mental telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak mau harus dijadikan suatu keutuhan wacana psikologi islam saat ini.
Atkinson menentukan kesehatan mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat.
Atkinson menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan seseorang yaitu[1]:
a.       Persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasikan terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap orang lain, serta tidak berlebihan dalam memuja diri sendiri.
b.      Mengenali diri sendiri.  Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
c.       Kemampuan untuk mengembalikan perilaku secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya.
d.      Harga diri dan penerimaan. Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang disekitarnya.
e.       Kemampuan untuk membuat ikatan kasih. Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain.
f.       Produktivitas, individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif.
Dengan berpijak beberapa pola diatas, Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan  kesehatan mental dengan “ terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan  dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan  dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna  dan berbahagia didunia dan diakhirat”.[2]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan  mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan,  sehingga mencapai hidup yang bermakna dan bahagia didunia dan diakhirat.
2.      Tanda-Tanda Kesehatan Mental Dalam Islam
Menurut Muhammad Mahmud ada sembilan macam tanda-tanda kesehatan mental yaitu:
a.     Kemapanan ( al-sakinah), ketenangan ( althuma’ninah), dan rileks ( al-rahah) bathin dalam menjalankan kewajiban terhadap dirinya, masyarakat dan tuhan.
 Al-Zhuhaili dalam tafsirnya memberi arti sakinah dengan ketetapan atau ketenangan ( al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala kecemasan ( al-qalaqanxiety) dan kesulitan atau kesempitan batin ( al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau peperangan, rasa aman, hilangnya ketakutan, dan kesedihan dari jiwa.
Kondisi mental yang tenang dan tentram yaitu: adanya kemampuan idividu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman, kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berat,  kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan.  Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah Q.S al-Insyirah ayat 4-5.
b.   Memadahi (alkifayah) dalam beraktivitas.
Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mental, sebaliknya seseorang yang memaksa menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka hal itu akan mengakibatkan tekanan bathin,  yang pada saatnya akan mendatangkan  penyakit mental. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah QS Yasin: 35.
c.    Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi maupun kemampuannya, karena kemampuan itu merupakan anugrah dari Allah SWT.  Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain.  Dijelaskan dalam Firman Allah QS al-nisa’ ayat 32.
d.   Adanya kemampuan untuk memelihara dan menjaga diri.
 Artinya kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada Allah SWT.
e.     kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mental.
f.     memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.
Berkorban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kepercayaan dan atau kemampuannya. Sedangkan menebus kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala resiko akibat kesalahannya, kemudia ia senantiasa berusaha untuk memperbaikinya agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
g.   Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya  dan saling mengisi.
Hal itu dianggap sebagai tanda kesehatan mental, karena masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah maka yang lain ikut menbantunya.
h.   Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik
 Keinginan yang terealisir dapat memperkuat kesehatan mental, sebaliknya keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
i.     adanya rasa kepuasan, kegembiraan ( al-farh atau surur) dan kebahagiaan ( al-sa’adah ) dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.
Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah terbebas dari segala beban dan terpenuhi kebutuhan hidupnya.

3.      Agama dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental
Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.[3]
Beberapa temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan kimia tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan. [4]
Sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap kekuasaan Tuhan. [5]Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan  sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya,sehat jasmani dan ruhani.
4.      Kesehatan Mental Dalam Islam
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan.
Sikap dan tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT (QS. Ar-Ra’du ayat 11.[6]

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya.  Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.
5.      Upaya Mencapai Kesehatan Mental
Menurut Moeljono Notosoedirjo, guru besar psikiatri dan kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan beberapa kesehatan mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan psikologis berada dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah membuat
kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi yang sehat. Kondisi optimum ini dapat dijadikan sebagai acuan dan arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan  kesehatan mental serta pencegahannya.
Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak sama
secara tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature personality, dan banyak yang menyebut dengan mental health.[7] Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagianberikut akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu persatu, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang kondisi mental yang sehat.
Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan Mittlemenn adalah sebagai berikut.
a.       Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.
b.      Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya, (b) memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk akal, dengan perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.
c.        Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai, dengan orang lain), Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan memberi ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada suatu saat, tetapi dia harus memiliki alasan yang tepat.
d.       Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan realitas) Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai (1) tiadanya fantasi yang berlebihan, (2) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan. dan (3) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).
e.        Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini ditandai dengan (1) suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima mereka tetapi bukan dikuasai; (2) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan; (3) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan tanpa rasa takut dan konflik; (4) kemampuan bekerja; (5) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas tersebut.
f.       Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar). Termasuk di dalamnya (1) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya; dan (2) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri yang jujur adalah dasar kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau mengakui) sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.
g.      Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan konsisten). Ini bermakna (1) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam beberapa aktivitas; (2) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan pandangan kelompok; (3) mampu untuk berkonsentrasi; dan (4) tiadanya konflik-konflikbesar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi terhadap kepribadiannya.
h.       Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (1) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; (2) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; dan (3) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
i.         Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.
j.        Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan memuaskan tuntutan kelompok). Individu harus: (1) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain dalam cara yang dianggap penting oleh kelompok: (2) terinformasi secara memadai dan pada pokoknya menerima cara yang berlaku dari kelompoknya; (3) berkemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya; (4) dapat menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan oleh kelompoknya: ambisi, ketepatan; serta persahabatan, rasa tanggung jawab, kesetiaan, dan sebagainya, serta (5) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.
k.       Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya), Hal ini mencakup: (1) kemampuan untuk menganggap sesuatu itu baik dan yang lain adalah jelek setidaknya; (2) dalam beberapa hal bergantung pada pandangan kelompok; (3) tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok; dan (4) untuk beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap perbedaan budaya.
Kartini Kartono berpendapat ada tiga prinsip pokok untuk mendapatkan kesehatan mental, yaitu;
a.     Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan kebutuhankebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial. Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhankebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik/makin banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.
b.     Kepuasan.
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang, lalu timbullah Sense of Importancy dan Sense of Mastery, (kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang memberi rasa senang, puas dan bahagia.
c.     Posisi dan status sosial
Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status sosial dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman/assurance, keberanian dan harapan-harapan di masa mendatang. Orang lalu menjadi optimis dan bergairah. Karenanya individu-individu yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman. Mereka senantiasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Dia tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan hari esok, jiwanya senantiasa bimbang dan tidak imbang. Zakiah Darajat berpendapat kehilangan ketentraman batin itu, disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan perasaan, baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam masyarakat.

C.    Penutup
1.    Kesimpulan
kesehatan mental yaitu terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan  dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan  dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna  dan berbahagia didunia dan diakhirat.
hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap kekuasaan Tuhan. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan  sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya,sehat jasmani dan ruhani.
2.    Saran
Demikianlah makalah ini penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada semua pihak agar dapat menambahkan wawasan dengan melengkapi sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan materi ini. penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang tentunya menbangun demi kesempurnaan makalh-makalah selanjutnya. Selanjutnya atas kritik dan saran yang telah diberikan penulis mengucapkan terima kasih.





[1] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam ( jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 135
[2] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa . . . , hal. 136
[3]Tersedia di http://counselingtreatment.weebly.com/kesehatan-mental.html diakses tanggal 01 Desember 2015


[4] Jalaluddin, Psikologi Agama ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 155
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama . . . , hal 158
[6]  Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
, 1997), hal. 150
[7] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep & Penerapan ( Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 1999), hal.  24-31

1 komentar:

  1. Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

    BalasHapus