KONSEP KESEHATAN MENTAL
A.
Pendahuluan
Kesehatan
sangat diperlukan oleh seseorang dalam menjalani kehidupan, baik kesehatan
fisik maupun kesehatan mental. Keutuhan kepribadian atau kemantapan kepribadian
merupakan kerja fungsi-fungsi yang harmonis atau aspek-aspek kejiwaan yang
meliputi kehidupan jasmaniah, psikologis dan kehidupan sosial budaya.
Dalam
buku-buku kesehatan mental ( mental
hygiene) disebutkan, kepribadian yang mantap yaitu kepribadian yang mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sehat mental. Dalam Bahasa Latin
disebutkan, man sana in corpore sano
(dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Dalam bahasa Arab
disebutkan, al-aqlus salim fil jismi
salim (akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat). Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa antara keduanya hendaklah dipertahankan keutuhannya,
artinya sehat jasmani dan ruhani atau sehat jiwa dan mental.
Dalam Islam
pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada
umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan
dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial,
serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan
pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan
ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan.
Kesehatan
mental secara relatif sangat dekat dengan integritas jasmaniah-ruhaniah yang
ideal. Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflik internal,
suasana hatinya tenang imbang, dan jasmaninya selalu sehat.[1] Untuk itu pada kesemapatan ini pemakalah
membahas tentang konsep dasar kesehatan mental.
B.
Konsep
Kesehatan Mental
1.
Pengertian
Kesehatan Mental
Dalam
litelatur psikologi, ditemukan beberapa pengertian tentang kesehatan mental.
Menurut E.Cutts dan Nicholas Mosely,
“kesehatan mental merupakan abilitas untuk menyesuaikan diri dengan
memuaskan kepada tekanan-tekanan lingkungan sekitar, kita menemukan dalam hidup
dan kesehatan mental sebagai cara-cara kita untuk melaksanakan penyesuaian
diri.”[2]
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gegala gangguan dan penyakit
jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang
ada semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya
keharmonisan jiwa dalam hidup. Atau terwujudnya keharmonisan yang sungguh
antara fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem
yamg biasa terjadi.[3]
Mustafa Fahmi, sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Mahmud menemukan dua pola dalam mendefenisikan kesehatan mental:
pertama, pola negatif ( salabiy),
bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala neurosis (al amradh al asbabiyah) dan psikosis ( al amrah al zihaniyah). Kedua pola
positif ( ijabiy), bahwa kesehatan
mental adaalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan
terhadap lingkungan sosialnya. Hanna Jumhana Bastaman dalam ( Kasmuri dan Dasril) menyebutkan “
empat pola yang ada dalam kesehatan mental yaitu pola symtomatis, pola
penyesuaian, pola pengembangan potensi dan pola agama.”[4]
Menurut Zakiah Daradjat dalam ( Abdul Mujib ) secara lengkap
mendefinisikan kesehatan mental dengan “
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara
individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai
hidup bermakna dan berbahagia didunia
dan diakhirat.[5]
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang
dari gejala-gejala gangguan dan penyakit
jiwa, dapat menyesuaikan diri, memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada
semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya
keharmonisan jiwa dalam hidup.[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental
adalah terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan, terciptanya
penyesuaian diri dengan diri sendiri dan lingkungan serta memanfaatkan segala
potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan
bersama serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup.
2.
Kriteria
Mental yang Sehat Menurut Islam
Menurut Muhammad Mahmud terdapat sembilan tanda-tanda kesehatan
mental yaitu:
a.
Kemapanan ( al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah),
rileks batin dalam menjalankan kewajiban.
b.
Memadahi (alkifayah)
dalam beraktifitas.
c.
Menerima keberadaan dirinya dan memelihara
diri.
d.
Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik
keluarga, sosial dan agama.
e.
Adanya kemampuan menjaga dan memelihara diri
f.
Kemampuan untuk berkorban dan menebus
kesalahan yang diperbuat.
g.
Kemampuan menbentuk hubungan sosial yang
dilandasi rasa percaya.
h.
Memiliki keinginan yang realistik sehingga
dapat diraih.
i.
Adanya kepuasan, kegembiraan, dan kebahagiaan
dalam mensikapi dan menerima nikmat yang diperoleh.
Sementara itu Menurut lembaga kesehatan dunia (WHO) kriteria mental
yang sehat antara lain:
a.
Dapat menyesuaikan diri secara kontruktif pada
kenyataan meskipun kenyataan itu buruk.
b.
Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payahnya.
c.
Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
d.
Secara relatif bebas dari stress, cemas dan
depresi.
e.
Berhubungan denga orang lain serta tolong
menolong dan memuaskan.
f.
Menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai
pelajaran dikemudian hari.
g.
Fokus pada penyelesaian dengan kreatif dan
kontruktif
h.
Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Sementara itu menurut pendapat Hamdan Bakry Adz-Dzaky Sebagai mana
yang dikutip oleh Kasmuri dan Dasril ada lima indikasi terdapat pada
orang/hamba yang memiliki mental yang sehat yaitu:
a.
Tersingkapnya Kesempurnaan Jiwa
Apabila seorang hamba Allah berhasil melakukan
pendidikan dan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa, maka ia akan dapat
mencapai tingkat kejiwaan (mental) yang sempurna, yaitu integritasnya jiwa
mutmainnah (yang tentram), jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai) dan jiwa yang
mardiyyah (diridhai).
b.
Tersingkapnya Kecerdasan Uluhiyah
Kecerdasan Uluhiyah ialah keampuan fitrah
seorang hamba yang shalih untuk untuk melakuka interaksi vertikal dengan
Tuhannya, kemampuan menaati segala apa-apa yang telah diperintahkan, menjauhkan
diri dari apa-apa yang telah dilarang dan dimurkaiNya serta tabah terhadap
ujian dan cobaannya.
c.
Tersingkapnya Kecerdasan Rububiyah
Kecerdasan Rububiyah adalah kemampuan fitrah seseorang hamba yang
salih dalam hal ini antara lain:
1)
Memelihara dan menjaga diri dari hal-hal yang
dapat menghancurkan kehidupannya baik di bumi maupun di langit atau dunia
hingga akhirat.
2)
Mendidik dan mengajar diri agar menjadi
seorang hamba yang pandai menemukan esensi diri dan esensi citra diri (insan
kamil).
3)
Memimpin dan membimbing diri jasmaniyah dan
rohaniyah secara bersama-sama secara totalitas
untuk dapat duduk patuh pada Allah SWT serta dapat memberikan kerahmatan
bagi lingkungannya.
4)
Menyembuhkan dan menyucikan diri dari penyakit
dan gangguan yang dapat melemahkan bahkan dapat menghancurkan potensi jiwa,
akal pikiran, qolbu dan indrawi di dalam menangkap dan memahami
kebenaran-kebenaran-kebenaran yang hakiki dengan melakukan pertaubatan dan
perbaikan diri seutuhnya.
d.
Tersingkapnya Kecerdasan Ubudiyah
Kecerdasan ubudiyah ialah kemampuan fitrah
seseorang yang shalih dalam mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa
terpaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan yang sangat primer
dan merupakan makanan bagi rohani dan jiwanya.
e.
Tersingkapnya kecerdasan Khuluqiyah
Kecerdasan Khuluqiyah ialah kemampuan fitrah
seorang yang shalih dalam berprilaku, bersikap dan berpenampilan, sebagaimana
Rasulullah SAW. Perkataan yang keluar dari lisan mengandung kebenaran dan
hikmah, tutur kata lembut, sopan terlepas dari ungkapan-ungkapan yang dapat
mengandung cela dan celaka diri dan orang lain. Demikian pula sikap, perbuatan
dan penampilan menjadi tauladan dan kebaikan dan kebenaran yang nyata serta
kenyataan yang baik dan benar bagi siapa saja yang memandangnya.
Suatu perbuatan atau perialku dapat dikatakan sebagai akhlak
apabila memenuhi dua syarat yaitu:
1)
Perbuatan dilakukan dengan berulang-ulang.
Apabila suatu perbuatan hanya dilakukan sekali saja, maka perbuatan itu tidak
dapat dikatakan sebagai akhlak.
2)
Perbuatan timbul dengan mudah tanpa dipikirkan
atau diteliti lebih dalam sehingga ia benar-benar merupakan suatu kebiasaan.
3.
Metode Dan Pemeliharaan Kesehatan Mental
Menurut Islam
Terdapat tiga metode untuk mengungkap kesehatan mental dalam
perspektif islam, yaitu:
a.
Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan aman dan
kepercayaan. Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya
penuh keyakinan dalam menghadapi problem hidup. Dengan iman seseorang memiliki
tempat bergantung, tempat mengadu dan tempat memohon apabila ia ditimpakan
kesulitan hidup. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi apakah
usaha yang dilakukannya sudah maksimal atau belum. Sejalan dengan
hukum-hukum-Nya atau tidak. Tetpai jika masih menemui kegagalan, hal yang perlu
diperhatikan adalah hikmah dibalik kegagalan tersebut.
b.
Metode Islamiah
Islam secara etimologi memiliki tiga makna
yaitu: Pertama, penyerahan dan ketundukan, kedua perdamaian dan keamanan, ketiga
keselamatan. Realisasi metode islam dapat membentuk kepribadian muslim yang
mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam
setiap kondisi.
Kepribadian muslim menimbulkan lima
karakter ideal, yaitu:
1)
Karakter syahadatain
Karakter syahadatain yaitu karakter yang mampu
menghilangkan dan membebabskan diri dari segala belenggu dan dominasi
tuhan-tuhan temporal dan relatif, seperti materi dan hawa nafsu.
2)
Karakter mushalli
Karakter mushalli yaitu karakter yang mampu
berkomunikasi dengan Allah (illah) dan dengan sesama manusia (insani).
Komunikasi ilahiah ditandai dengantakbir sedangkan komunikasiinsaniah ditandai
dengan salam. Karakter mushalli juga menghendaki kesucian lahir dan batin.
Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu, sedangkan kesucian batin diwujudkan
dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan.
3)
Karakter muzaki
Karakter muzakki yaitu karakter yang berani
mengorbankan hartanya untyk keberhaislan dan kesucian jiwanya.
Karakter muzakki menghendaki adanya pencarian harta secara halal
dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Maka allah sangat
menganjurkan kepada manusia untuk mencari rezeki di muka bumi ini dengan cara
yang halal.
4)
Karakter sha’im
Karakter sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan
nafsu-nafsu rendah dan liar. Diantara karakter sha’im adalah menahan makan,
minum, hubungan seksualpada waktu dan tempat dilarang.
5)
Karakter hajji
Karakter hajji yaitu karakteryang mau mengorbankan harta, waktu
bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT.
c.
Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berati baik orang yang baik adalah orang yang
mengetahui hal-hal yang baik. Mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan
dilakukan dengan niat yang baik pula. Metode ini apabila dilakukan dengan benar
akan membentuk kepribadian muhsin yang dapat ditempeh melalui beberapa tahapan,
yaitu :
a.
Tahapan pemulaan
Pada tahapan
ini dmerasa rindu kepada kaliknya. Ia sadar dalam kerinduan nya terdapat tabir
yang menghalanginya hubungannya, sehingga ia berusa menghilangkan tabir
tersebut. Tahapan ini disebut juga tahapan takholli, yaitu mengkosongkan diri
dari segala sifat-sifat kotor, tercela, dan mmaksiat. Kepribadian muhsin
tingkat pemula iini diantaranya meninggalkan sirik, meningkalkan khufur, nifak,
fusuk, bitah , somgbong, ria dan sebagainya.
b.
Tahapan kesungguhan menempuh kebaikan
Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah
bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat. Kemudian ia berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mengisi diri dengan tingkah laku
yang baik. Tahapan ini disebut tahapan tahalli, yaitu upaya mengisi diri dengan
sifat-sifat yang baik.
c.
Tahapan merasakan (al-muziqat)
Pada tahapan
ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah khaliknya dan menjauhi
larangan-Nya. Namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan dengan-Nya.
Tahapan ini disebut tajalli, yaitu menampakkanya sifat-sifat Allah SWT pada
diri manusia setelah sifat-sifat buruknya dihilangkandan tabir yang menghalangi
menjadi sirna.
Pada tahapan
ketiganya ini dilalui para sufu biasanya melalui dua proses yaitu al-fana’ dan
al-baqa’. Seseorang apabila mampu menghilangkan wujud jasmaniah dengan cara
menghilangkan nafsu-nafsu infulsifnya dan tidak terikat dengan materi atau
lingkungan sekitar maka ketika ini terwujud maka ia telah al-fana’. Kondisi
beralih kemudian ke al-baqa’, wujud ruhaniah yang ditandai dengan tetapnya
sifat-sifat ketuhanan.
C.
Penutup
1.
Simpulan
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian
antara fungsi-fungsi kejiwaan, terciptanya penyesuaian diri dengan diri sendiri
dan lingkungan serta memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal
mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya keharmonisan
jiwa dalam hidup.
Menurut Muhammad Mahmud terdapat sembilan
tanda-tanda kesehatan mental yaitu:Kemapanan ( al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah),
rileks batin dalam menjalankan kewajiban. Memadahi (alkifayah) dalam beraktifitas. Menerima keberadaan dirinya dan
memelihara diri. Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik keluarga, sosial
dan agama. Adanya kemampuan menjaga dan memelihara diri Kemampuan untuk
berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. Kemampuan menbentuk hubungan
sosial yang dilandasi rasa percaya. Memiliki keinginan yang realistik sehingga
dapat diraih. Adanya kepuasan, kegembiraan, dan kebahagiaan dalam mensikapi dan
menerima nikmat yang diperoleh.
Adapun Metode dan pemeliharaan kesehatan
mental menurut islam yaitu metode imaniyah, metode islamiyah dan ihsaniyah.
2.
Saran
Demikianlah penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kepada semua pihak agar dapat menambahkan wawasan dengan
melengkapi sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan materi ini. Penulis
juga mengharapkan kritik dan saran yang
menbangun demi kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Atas kritik dan
saran yang telah diberikan penulis mengucapkan terima kasih.
[1]Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam ( Jakarta:
Amzah, 2010), hal. 143
[2]Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru
( Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2014),hal. 376
[3] Noer Rohmah, Pengantar Psikologi Agama ( Jakarta:
Teras, 2013), hal. 201
[4] Kasmuri dan Dasril, Psikoterapi Pendekatan Sufistik ( Batusangkar: STAIN Batusangkar Press,
2014), hal. 63
[5] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam ( Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 136
[6] Farid Hasyim, Bimbingan dan Konseling Religius
(Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2010) hal. 152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar